Postingan

Menampilkan postingan dari Oktober, 2021

Kisah Persahabatan Yang Bisa Saja Menjadi Kelam, Kematian Presiden Korsel Park Chung Hee Yang Tewas Oleh Sahabatnya

Jakarta - Persahabatan nyatanya tak bisa menyingkirkan tragedi . Sahabat yang paling kental pun bisa menikam dari belakang, membuat tiap orang harusnya mendefinisikan kembali makna persahabatan. Kejadian 26 Oktober 1979 saat Presiden Korea Selatan Park Chung Hee dibunuh sahabatnya sendiri bisa jadi buktinya Dilansir Britannica, pembunuh Park adalah Kepala Badan Intelijen Korea Selatan (KCIA) Kim Jae Kyu. Dia adalah sahabat karib Park. Dia jugalah yang menghabisi Park. 18 tahun kepemimpinan Park berakhir begitu saja di tangan sahabatnya. Kesetiaan berganti rupa menjadi darah. Riak Gejolak di Blue House Dilansir Korea Times, pada hari kematiannya, Park menggelar jamuan makan malam terbatas yang dihadiri sejumlah pejabat penting di restoran KCIA di kompleks Blue House.Kepala KCIA Kim Jae Kyu, Kepala Satuan Pengamanan Presiden Cha Ji Chul, dan Kepala Kesekretariatan Blue Residence Kim Gae Wo turut hadir. Park mendiskusikan gejolak politik di masyarakat yang dipicu pemimpin p

Kisah Sejarah Sang Komandan "Bamboe Roentjing"

Jakarta - Hidup Asmin Sucipta harus berakhir di depan regu tembak militer Belanda. Sempat berlinang air mata saat berjumpa dengan anak-istrinya di penjara Saat memimpin unit Bambu Runcing di Cianjur awal 1948, Asmin Sucipta (Cipta) kerap melakukan teror terhadap tentara Belanda dan kaki tangan NICA (Pemerintah Sipil Hindia Belanda). Sebagai contoh, dalam suatu pengadangan di Bojongkoneng, kurang lebih setengah peleton Tentara Kerajaan Hindia Belanda (KNIL) dihabisi Cipta lewat bidikan maut Si Dukun. Kala para pejuang Republik aktif memerangi tentara Belanda yang berusaha kembali menguasai wilayah Indonesia pada 1946-1949, pasukan Bamboe Roentjing termasuk di dalamnya. Pada suatu penghadangan di wilayah Bojongkoneng, device itu sukses menghabisi satu peleton KNIL (Tentara Kerajaan Hindia Belanda) dan merampas sejumlah senjata. "Saya ingat waktu itu tugas saya dan kawan-kawan memunguti senjata-senjata tentara Belanda yang berserakan di jalan,"kenang Hadi, eks

Kisah Sejarah Pulau Kemaro di Palembang, Sebuah Tempat Yang Pernah Menjadi Kamp Tahanan Pelaku Pemberontakan G30S/PKI

Jakarta - Hari ini bangsa Indonesia mengenang peristiwa kelam 56 tahun yang lalu, pemberontakan G30S/PKI. Pemberontakan terjadi pada tahun 1965 yang menyeret perubahan besar pemerintahan dari orde lama ke orde baru. Peristiwa tahun 1965 ini juga pengulangan dari Pemberontakan Partai Komunis Indonesia (PKI) oleh Muso tahun 1948 yang gagal. Sejak PKI berdiri tahun 1914, pemberontakan tahun 1965 menyebabkan tidak saja PKI sebagai sebuah partai terlarang, namun menjadikan bangsa Indonesia alergi dan anti terhadap segala hal berbau komunis. Masyarakat Palembang mengenal dan mengenang peristiwa G30S/PKI yang dihubungkan dengan Pulau Kemaro. Sebuah pulau yang tidak saja sebagai identitas multikultural Palembang karena keberadaan etnis dan bangunan agama di sana, tetapi juga dilekatkan dengan peristiwa pemberontakan PKI tahun 1965. Menurut sejarawan Palembang Dedi Irwanto, Pulau Kemaro ini merupakan salah satu kamp konsentrasi yang digunakan sebagai tempat tahanan politik pe

Kisah Kelicikan PKI Yang Gagal Menyerang Ponpes Tegalrejo Dan Menculik Kiai

Jakarta - Teriakan ratusan pasukan Front Demokrasi Rakyat Partai Komunis Indonesia (FDR/PKI) memecah keheningan di Pondok Pesantren Tegalrejo, Magetan. Pesantren tersebut tidak luput dari sasaran pemberontakan PKI di tahun 1948. "Pondok bobrok, santri mati, langgar bubar"teriak mereka yang berusaha melumpuhkan kekuatan pesantren. Tidak hanya berteriak, mereka juga mengacungkan senapan, pedang dan senjata lainnya. Orang-orang FDR/PKI mengepung dan menyerang Pesantren Tegalrejo. Namun upaya mereka sia-sia. Pesantren Tegalrejo merupakan pesantren tertua di Kabupaten Magetan, yang dirintis oleh sisa-sisa pengikut Pangeran Diponegoro yang enggan tunduk pada Belanda, yakni KH Abdurrahman. KH Abdurrahman juga adalah master sekaligus penasihat Pangeran Diponegoro dalam hal Thariqat Sathariyah. Tegalrejo sendiri pada tahun 1948 hanyalah sebuah pedukuhan kecil seluas 10 hektare dan letaknya 10 kilometer di selatan Takeran. Tanah di sekitar Tegalrejo adalah tanah yang ger