Kisah Pasca Proklamasi Dan Kawilarang Bersama Dengan Alumni KMA
Jakarta - Boleh berhadapan sebagai musuh dalam Perang Kemerdekaan, namun sebagian
alumni Akademi Militer Kerajaan Belanda tetap menghormati pilihan
pribadi kawan-kawan mereka.
Kisah sejarah pasca proklamasi kemerdekaan, alumni KMA (Akademi Militer Kerajaan
Belanda) terbelah. Ada yang tetap menjadi bagian KNIL (Tentara Kerajaan
Hindia Belanda) dan ada juga yang bergabung dengan Tentara Keamanan
Rakyat (kemudian menjadi TNI).
Di antaranya adalah Oerip Soemohardjo, Didi Kartasasmita, A.H. Nasution dan A.E. Kawilarang. Soal itu menjadi masalah besar bagi sebagian graduates dan eks instruktur KMA. Mereka menganggap 'para pembelot' tersebut telah mengingkari sumpah setia mereka kepada Ratu Belanda.
Begitu berangnya, hingga Panglima KNIL Letnan Jenderal S.H. Spoor menyebut mereka sebagai 'bajingan'. Demikian menurut J.A. de Moor dalam Jenderal Spoor, Kejayaan dan Tragedi Panglima Tentara Belanda Terakhir di Indonesia. Namun para eks kadet KMA yang membelot ke TKR memiliki hujah sendiri terkait soal tersebut.
Seperti dikatakan Didi Kartasasmita dalam otobiografinya, Pengabdian bagi Kemerdekaan (disusun oleh Tatang Sumarsono), mereka meyakini bahwa sejak Panglima KNIL Letnan Jenderal Hein ter Poorten menyatakan KNIL bubar pada 9 Maret 1942, secara otomatis kewajiban untuk 'setia kepada Ratu Belanda' gugur.
Dan ketika
dihadapkan kepada dua pilihan: berada di pihak NICA yang ingin menjajah
kembali Indonesia atau berada di pihak RI yang sudah menjadi negara
merdeka, tentu saja sebagai orang Indonesia dirinya akan berdiri di
belakang RI.
Uniknya, banyak juga graduates KMA yang diam-diam maklum atas pilihan
rekan-rekan Indonesia-nya tersebut. Sikap itu seperti dimiliki Ed
Mahler, salah seorang kawan seangkatan Kawilarang di KMA.
Kendati harus
menjadi musuh, menjadi musuh, Ed sangat memahami dan menghormati pilihan
lelaki asal Minahasa itu untuk bergabung dengan TNI. Dalam memoarnya,
Ed Mahler menulis kesan pribadi mengenai pilihan kawan seangkatannya di
KMA tersebut.
"Lex Kawilarang tentunya memiliki alasan tersendiri untuk memilih pihak
Indonesia. Memang pada saat itu saya sempat tidak bisa memahami bahwa di
tahun 1946 kami telah saling berperang dengan sengit dan penuh
keyakinan," ujar Mahler seperti dikutip Gert Oostindie dalam Serdadu
Belanda di Indonesia 1945-1950: Kesaksian Perang pada Sisi Sejarah yang
Salah.
Ketika berpangkat mayor (1946 ), Kawilarang nyaris ditangkap oleh
kawannya sendiri saat kepergok sedang berada di Jakarta. Kendati sudah
saling berhadapan, Sam de Jong (kawan seangkatan Kawilarang yang saat
itu menjadi perwira KNIL) tak jua menangkap Kawilarang. Dia terlihat
ragu.
Tiga puluh dua tahun kemudian, soal pertemuan itu dibahas Kawilarang dan
Sam pada saat keduanya bertemu dalam reuni peringatan berdirinya KMA
yang ke-150 di Breda, Belanda. Di luar perkiraan Kawilarang, ternyata
Sam sebenarnya sudah tahu bahwa kawannya itu telah bergabung dengan
tentara Republik.
"Kenapa kau tidak menangkap saya?"tanya Kawilarang.
"Bagaimana bisa kawan menangkap sesama kawan di luar pertempuran?"jawab Sam.
Ternyata solidaritas korps di KMA tetap terjaga kendati dalam kondisi
mereka harus saling berhadapan sebagai musuh. Penghargaan atas
persahabatan satu korps juga diperlihatkan para perwira KNIL (yang
pernah satu angkatan dengan Kawilarang) di medan pertempuran.
Dalam
otobiografinya, Kawilarang berkisah saat bergerilya di pelosok selatan
Cianjur dia kerap mendapat kiriman lagu via Radio Angkatan Bersenjata
Belanda.
"Maka di bulan Maret, 1947 saya dengar penyiar radio itu bicara dalam
bahasa Belanda: Dan sekarang untuk Letnan Kolonel Alex Kawilarang dari
TNI, dari kawan-kawan lamanya, inilah (lagu) 'Lay that gun down'..."ungkap Alex Kawilarang dalam otobiografinya, Untuk Sang Merah Putih
(disusun oleh Ramadhan KH).
Sejak itulah, sang overste hampir tiap dua minggu sekali rutin mendapat
kiriman lagu-lagu yang sedang populer. Belakangan Alex mendengar bahwa
permintaan tersebut berasal dari teman-teman sekelasnya di KMA sebelum
perang.
Komentar
Posting Komentar